“Bisik Kabut di 1.437 MDPL”
Cerita Pendek – Kawah Ratu, Gunung Salak
Di ketinggian 1.437 meter di atas permukaan laut, kabut pagi menggantung seperti tirai tipis yang menutupi jalur menuju Kawah Ratu. Awan putih itu bergerak pelan, seolah menjaga sebuah rahasia tua yang tak pernah benar-benar terungkap.
Raka menarik napas panjang. Ini pertama kalinya ia mendaki sendiri. Bunyi gemericik air dari sungai kecil di samping jalur menjadi satu-satunya teman yang menenangkan. Tapi setiap langkah menuju kawah semakin membuatnya merasa seolah ada yang memperhatikannya.
“Tenang. Cuma imajinasi,” gumamnya.
Setelah satu jam berjalan, aroma belerang mulai terasa. Tanah berubah lembap dan hangat. Dari kejauhan, terdengar suara mendesis pelan—seperti seseorang yang sedang berbisik.
Raka berhenti. Suaranya bukan hanya datang dari satu arah… tapi dari segala arah.
Saat ia melangkah ke bibir kawah, kabut menipis. Tampaklah hamparan batu putih kekuningan, uap belerang yang mengepul, dan celah tanah yang memuntahkan asap panas. Pemandangan itu indah, tapi tak bisa disangkal juga… menyeramkan.
Tiba-tiba angin berhembus keras. Kabut berputar membentuk pusaran kecil. Di tengahnya, Raka melihat siluet perempuan berdiri di antara asap kawah.
Panas dingin merayap di tengkuknya.
Perempuan itu tidak bergerak. Hanya berdiri dengan rambut panjang terurai dan gaun sederhana, seolah menyatu dengan kabut. Wajahnya tak jelas—tertutup uap dan cahaya tipis.
Raka mengedip.
Sekali.
Dua kali.
Sosok itu masih ada.
Namun anehnya, ia tidak merasa takut. Ada rasa damai, seperti sedang melihat penjaga yang sebenarnya tidak ingin mengusik.
Uap kawah kembali bergulung, menelan sosok itu perlahan.
Dan hilang.
Raka berdiri lama, memastikan ia tidak berhalusinasi. Tapi ketika ia hendak berbalik untuk turun, ia melihat sesuatu di tanah: jejak kaki kecil, hanya beberapa langkah dari bibir kawah… mengarah ke tempat sosok itu berdiri.
Jejak itu tidak miliknya.
Raka menelan ludah, lalu tersenyum kecil.
“Mungkin… Kawah Ratu memang punya ratunya sendiri.”
Dengan perasaan aneh antara kagum dan merinding, ia mulai menuruni jalur. Dan di belakangnya, dari balik kabut, terdengar suara lembut seperti angin menyapa:
“Terima kasih sudah datang…”

